Denpasar , mediapelangi.com – Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti kembali didaulat sebagai pembicara di hadapan para akademisi. Kali ini, kepercayaan tersebut diberikan dalam Pra Sarasehan Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) Ke-14 yang berlangsung di Gedung Agrokomplek Universitas Udayana, Rabu (15/11).
Dalam acara tersebut, Bupati Eka mengangkat isu kebhinnekaan dan toleransi di Indonesia. Kebetulan, kegiatan itu mengangkat tema “Masyarakat Harmonis dalam Bingkai Kearifan Lokal”. Kegiatan ini melibatkan para dosen, alumni, maupun mahasiswa dari 18 universitas di Indonesia selaku delegasi.
Kegiatan itu juga dihadiri oleh Sekda Kabupaten Tabanan I Nyoman Adi Wiryatama, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra I Wayan Yatnanadi, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tabanan I Gede Susila, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan I GN Supanji, Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Kabupaten Tabanan I Putu Dian Setiawan.
Terkait kebhinnekaan dan toleransi, bagi Bupati Eka, kedua isu itu penting untuk diangkat kembali mengingat situasi bangsa belakangan ini yang dirongrong intoleransi bahkan mengancam kebhinekaan yang menjadi dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Padahal, kebhinnekaan dan keberagaman tersebut justru menjadi modal bangsa kita untuk berbuat lebih maju lagi. Karena dari perbedaan itulah, kita banyak belajar untuk memahami,” ujar Bupati Eka di awal penyampaian materinya.
Pentingnya belajar dari perbedaan yang lahir di Indonesia itu dianalogikan oleh Bupati Eka dengan kedua kaki maupun tangan manusia. Sekalipun sepintas sama, anggota tubuh manusia tersebut tidaklah sama persis atau simetris.
“Di tubuh kita, tangan dan kaki kita, kiri maupun kanan tidaklah sama seratus persen. Terus, kalau sudah beda seperti itu apa harus dipotong? Dari perumpamaan ini kita mesti belajar memahami perbedaan itu. Jangan berpikir, saya beda, kamu beda, kita akhirnya tidak bersaudara, tidak berteman, atau musuhan. Justru perbedaan itu merupakan kesempatan kita untuk belajar saling memahami,” tegasnya lagi.
Berangkat dari pemahaman itu, sambungnya, kita sebagai generasi penerus yang merdeka semestinya bisa menjadikan perbedaan dan multikultur sebagai modal besar bagi bangsa Indonesia untuk maju.
Ini juga, sambung Bupati Eka, yang melatarbelakangi dirinya dalam kapasitas sebagai kepala daerah untuk membuat program-program yang menyentuh semua komunitas masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama, atau golongan sebagai upaya menerjemahkan Pancasila yang telah dibidani kelahirannya oleh Presiden Pertama sekaligus founding father Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno.
“Saya berusaha memposisikan diri sebagai kepala daerah bagi siapa saja. Mau apapun sukunya. Apapun agamanya. Apapun rasnya. Saya berusaha mengedepankan sisi kemanusiaan,” imbuhnya seraya menyampaikan rasa syukur karena upaya tersebut telah menuai apresiasi dari sejumlah pihak seperti Kementerian Agama RI yang memberikan Harmony Award serta Bali Democration Forum (BDF) yang menjadikan Kabupaten Tabanan sebagai salah satu daerah yang berusaha merawat toleransi.
Karena itu, sambung dia, keberagaman yang ada di Indonesia selayaknya untuk disyukuri dan bukan diperdebatkan. Meskipun dia mengakui bahwa tantangan terberat merawat toleransi saat ini adalah proses demokrasi yang terkadang tidak sehat.
“Yang saya amati belakangan ini adalah proses demokrasi yang tidak sehat sampai-sampai mempolitisir agama. Dan, saya harapkan, adik-adik mahasiswa lebih hati-hati menanggapi tiap isu. Harus matang mencerna informasi. Harus bisa memfilter,” ujar Bupati Eka berharap.
Masih dalam pesannya, Bupati Eka juga mengajak kalangan akademisi untuk mengedepankan sisi kemanusiaan dan welas asih kepada sesama manusia, menjaga kerukunan, menghindari sikap egosentris dan mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan. “Kalau sudah bersatu kita sebagai bangsa tidak akan kalah,” pungkasnya.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha dalam sambutannya mengungkapkan tema yang diangkat dalam pra sarasehan JKAI Ke-14 sangat penting agar kita dapat mengaktualisasikan nilai-nilai budaya. Khususnya, kearifan lokal dalam upaya memantapkan jati diri bangsa. “Serta memaknai nilai-nilai kearifan lokal untuk memperkuat harkat dan martabat bangsa,” ujarnya.
Dikatakan, azas multikultarisme berisi konsep egaliter, saling menghormati antarsesama, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama. Azas tersebut harus dapat dijaga untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis. “Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan bahasa Indonesia berkontribusi besar dalam mempromosikan dan mempertahankan multikulturalisme,” sambungnya.
Multikulturalisme itu sendiri sejatinya telah diimplementasikan di Bali dalam berbagai konsep kehidupan yang berkembang di masyarakatnya. Seperti, Tat Twam Asi, Segilik Seguluk Sebayan Taka, Paras Paros, dan Menyama Braya.
“Dan, pra sarasehan ini juga dalam rangka merumuskan strategi menghadapi perubahan komunikasi dalam era teknologi informasi untuk memperkuat kearifan lokal yang kita miliki. Kalau dibiarkan kita akan mengalami krisis budaya dan identitas karena kebudayaan identitas dan jati diri dan warisan bangsa,” tandasnya.
Dalam kegiatan itu, Bupati Eka juga sempat membagikan buku biografinya “Investasi Hati” kepada para mahasiswa yang menjadi delegasi kegiatan tersebut.
Bahkan, di akhir penyampaian materi, Bupati Eka juga sempat memutar video tentang Ni Putu Rista, gadis cilik penjual kartu pos di Karangasem yang jago 23 bahasa. Video itu sengaja diputar sebagai motivasi bagi semua peserta untuk terus belajar dan mempertahankan spirit perjuangan dalam kehidupan.
Kegiatan tersebut juga diisi dengan musikalisasi puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber Ilmu oleh I Gusti Made Adi Nurama. Musikalisasi puisi oleh tokoh muda Tabanan yang akrab disapa Jik Rembo ini diiringi oleh alunan musik yang dibawakan kelompok pimpinan I Gusti Nengah Hari Mahardika. (hms/mp)