TABANAN, MEDIAPELANGI.com – Masyarakat Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan, angkat bicara atas sejumlah tudingan miring akhir-akhir ini yang menyatakan Masyarakat Jatiluwih dan Pemkab Tabanan kurang perduli dan tidak mengindahkan makna Predikat Warisan Budaya Dunia (WBD) dari Unesco,atas “Cultural Lanscape of Bali Province : The Subak System as a Manifestation of The Tri Hita Karana.
Tudingan terbaru, datang dari seorang akademisi Guru Besar salah satu Perguruan Tinggi di Bali, yakni Prof. Windia, melalui pemberitaan di salah satu media Online di Bali, pada (6/5/ 2019), menyatakan Prof. Windia merasa kecewa dan akan mengusulkan untuk status Warisan Budaya Dunia Subak agar dicabut.
Menanggapi hal tersebut, elemen masyarakat Jatiluwih merasa gerah dan perlu memberikan respon dengan menegaskan hal itu tidak benar dan keliru, bila seorang ademisi berpikir sedangkal itu.
“Kami dari dulu selalu komit untuk mempertahankan sawah dan tradisi nenek moyang kami. Bagian dari upaya menjaga kelestarian sistem Subak ini, masyarakat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan memanfaatkan potensi tersebut dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jatiluwih dan sekitarnya dengan tetap menjaga kelestarian Cagar Budaya Jatiluwih sebagaimana seharusnya.
Dibentuklah Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata ( DTW ) yang memberikan arah pemanfaatan potensi Jatiluwih. Dengan adanya Badan Pengelola DTW Jatiluwih, masyarakat merasa sangat terbantu dan lebih semangat lagi untuk melestarikan kawasan ini, rumah kami, tanah kelahiran kami,” ucap seorang masyarakat Desa Jatiluwih, I Gede Eka Wiguna, saat ditemui tim Humas Tabanan di Kantor Perbekel Desa Jatiluwih, Rabu, (8/5/2019).
Dirinya juga menegaskan bahwa sebagai masyarakat, dirinya meski kurang paham tentang apa itu WBD dan orang-orangnya seperti apa serta apa imbas dari predikat tersebut. Tetapi kami yakin bila Lembaga Dunia mengakui sistem subak di Jatiluwih tentu karena ada keistimewaan tersendiri, meski secara langsung faedah status sebagai WBD belum dirasakan, masyarakat bersyukur dengan adanya Badan Pengelola DTW Jatiluwih, kami sudah rasakan langsung.
Dengan adanya Badan Pengelola DTW sangat membantu dalam pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur serta meringankan biaya ACi upacara di subak,” tegasnya.
I Nengah Wirata, Warga Banjar Jatiluwih Kawan menambahkan bahwa para Petani di Jatiluwih sudah melaksanakan swadarma dengan Baik menjaga lahan pertanian sehingga sistem subak tetap terjaga dengan Baik. Petani di Jatiluwih meminta untuk dibantu pemeliharaan saluran-saluran air sehingga tidak bocor dan sawah tetap mempunyai air.
“Tolong pihak-pihak yang bisa memperjuangkan nasib kami para petani yang akan menjaga sawah abadi ini untuk dibantu biar air selalu tersedia dan tidak kering sawah kami. Bantu sender dan bangun irigasi kami biar lancar airnya. Dan kalau bisa digratiskan pajak PBB nya sehingga beban kami makin ringan. Tolong jangan berpolemik tentang Jatiuwih bila memang belum melihat dan mendengar keadaan kami. Jangan hanya mendengarkan dari sumber yang kurang jelas,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Tabanan, IGN. Supanji mengatakan, adalah bukan wewenang dari Pemkab Tabanan untuk membentuk Badan Pengelola WBD. “Kita terhalang untuk membentuk Badan Pengelola WBD itu karena sub urusan pengelolaan warisan budaya nasional dan dunia adalah kewenangan Pemerintah Pusat.
Kewenangannya tidak lagi di Daerah. Sejak keluarnya UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda. Jadi itu kewenangan Pemerintah Pusat bukan kewenangan Pemda atau Pemprov. Jadi salah alamat kalau Profesor Windia mengatakan Pemkab Tabanan tidak menepati janji untuk membuat Badan Pengelola WBD,” ungkapnya.
Lebih Lanjut Supanji membeberkan terkait Undang Undang Nomor 11 tahun 2011 tentang Cagar Budaya, poin 22 menyebutkan bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Dan poin 33 menyebutkan Pemanfaatan adalah Pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
“Artinya harus kita manfaatkan untuk bisa melindungi kawasan itu. Kalau tidak dimanfaatkan kan jadinya rusak sendiri. Maka dari itu, kami perlu frame yang jelas, mana yang termasuk daerah kawasan WBD dan kawasan Cagar Budaya, karena sepengetahuan kami yang mendapat predikat WBD adalah cultural Lanscape of Bali Province : The Subak System as a Manifestation of The Tri Hita Karana,” tutupnya.(*rlshms)