DENPASAR, MEDIAPELANGI.com – Aksi menolak hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 oleh mereka yang menamakan diri “gerakan nasional kedaulatan rakyat” pada hari Senin (21/5/2019) malam telah berkembang menjadi kerusuhan massa. Kerusuhan berlanjut pada Selasa (22/5/2019) dini hari hingga malam hari. Aksi kelompok pendukung Prabowo Subianto tersebut betul-betul berubah menjadi anarkhi jalanan. Massa yang menolak pembubaran aksi, mengamuk dan membakar puluhan kendaraan roda empat yang diparkir di Markas Brimob, Petamburan, Jakarta Barat.
“Pernyataan Titiek Soeharto sebagaimana disampaikan di dalam video yang viral di media sosial, bahwa aksi akan berlangsung damai tidak terbukti. Hal ini menguatkan dugaan, bahwa aksi damai yang diserukan politisi Cendana itu hanya kamuflase belaka. Sebab sejak beberapa hari terakhir telah beredar seruan di media sosial agar mereka yang mau mengikuti aksi membawa benda dan senjata yang bisa digunakan untuk melakukan kekerasan,” kata Endang, kordinator aksi saat komponen mahasiswa dari kampus se Bali menggelar aksi kebangsaan, Kamis (23/5/2019) di Denpasar.
Selain menyita kendaraan yang berisi batu-batu untuk dilempar kepada petugas, aparat kepolisian juga menangkap pelaku lengkap dengan barang bukti dari senjata tajam hingga senjata api otomatis yang merupakan senjata built up. Tak ayal, korbanpun berjatuhan.
“Peristiwa kekerasan di sekitar Gedung Bawaslu RI yang meluas ke sejumlah lokasi di Jakarta itu telah mengundang keprihatinan banyak pihak, termasuk kami para pengurus organisasi kemahasiswaan intra kampus se-Indonesia. Sungguh kejadian kerusuhan itu telah menghapus citra masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan santun oleh masyarakat dunia. Perilaku anarkhi tersebut juga menunjukkan kepatuhan para pelaku kepada hukum telah berada pada titik nadir. Padahal kepercayaan pada hukum sangat penting untuk menjaga ketertiban sosial, dan menjamin rasa aman, serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat,” kata Presiden BEM Universitas Ngurah Rai ini melanjutkan.
Itu sebabnya, subtansi Undang-undang Dasar R.I. Tahun 1945 sebagai Konstitusi Dasar menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara penganut asas hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtsstaat). Langkah penolakan hasil perhitungan suara Pilpres pada Senin malam, 20 Mei 2019, yang diikuti aksi demonstrasi anarkhi oleh “g-n-k-r” di satu pihak merupakan upaya delegitimasi terhadap Komisi Pemilihan Umum R.I. (KPU R.I.), dan pihak lain juga mengabaikan asas rechtsstaat yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebab sebagai institusi demokrasi penyelenggara Pemilu, KPU RI telah bekerja secara independen berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Delegitimasi terhadap KPU RI, dan pengabaian hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sangat berbahaya, dan bisa memicu perpecahan karena ketidakpatuhan terhadap hukum.
“Mereka juga menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bahkan tega memakai isu agama sehingga seolah-olah ini perang membela agama padahal ini hanya rekayasa politik mereka saja untuk menuruti ambisi berkuasa. Pemerintah difitnah seolah-olah pemerintah anti agama. Agama dibawa-bawa padahal ini soal ambisi mereka meraih kuasa. Agama dijadikan alat utk penuhi ambisi berkuasa, agama dijadikan instrumen politik. Hal itu sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan. Padahal kami yakin bahwa agama tidak mengajarkan kebencian kepada sesama,” lanjutnya.
Untuk mencegah premanisme politik tersebut yang bisa memicu perpecahan bangsa dan preseden buruk berupa ketidakpatuhan terhadap hukum, para Pengurus Aksi Kebangsaan Mahasiswa Bali seperti Endang (Universitas Ngurah Rai), Adri (Dwijendra), Jimmy (stipar Tj), Agus (Stipar Tj), Jhon (Mapindo), Jhon (U T I), Samuel (STIKI Indonesia), Dayu sawitri (UNMAR), Putra mahardika (UNMAR), Dewa Kadek Adi Saputra (UNMAR), Anggie (UNUD), Wisnawa (STIMI Handayani), Diah (STIMI Handayani), Adrianus (Dwijendra) dan Agus W (STIPAR Triatmajaya) memberikan pernyataan sikap.
Pertama mengutuk keras aksi kekerasan dan kerusuhan yg sedang terjadi di Jakarta, kedua menyerukan kepada semua pihak menjaga persatuan dan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, ketiga menyerukan agar semua pihak menghentikan aksi kekerasan dan kerusuhan yg sedang terjadi, empat, bahwa kemungkinan kekuatan politik Cendana telah mendalangi aksi-aksi kekerasan dan kerusuhan ini.
“Kelima kami mendukung sepenuhnya Polri dan TNI sebagai aparatur negara yang sah untuk melawan dan menangani segala bentuk radikalisme, yakni segala jenis ajaran yang menghalalkan kekerasan dalam mencapai tujuan,” bunyi pernyataan sikap Pengurus Aksi Kebangsaan. (aw)