JAKARTA, MEDIAPELANGI.com – Komisi Kejaksaan menyatakan kolaborasi penegak hukum, baik Kejaksaan, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mampu menjerat oknum politisi yang diduga terlibat mafia hukum kasus Djoko Tjandra.
Hal ini didasarkan pada sangkaan yang dialamatkan kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari atas dugaan suap, pencucian uang dan permufakatan jahat.
Dalam kaitan dengan dugaan permufakatan jahat, Komisi Kejaksaan (Komjak) menekankan pemberantasan praktik mafia hukum yang melibatkan lintas profesi seperti oknum penegak hukum, oknum penasehat hukum, oknum pengusaha dan oknum politisi diharapkan dapat diungkap tuntas melalui kerja sama penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan dan KPK.
“Publik tidak mempersoalkan koordinasi dan supervisi, tapi publik mengharapkan para bandit penjahat ini ditindak,” kata Ketua Komjak Barita Simajuntak melalui siaran pers di Jakarta, Senin.
Barita mengatakan berdasarkan ekspos yang dilakukan Komjak pertama kali terkuak bahwa Jaksa Pinangki yang tidak berperan sebagai penyidik jaksa dan tidak memiliki kewenangan eksekusi justru menjadi salah satu sosok sentral kasus ini.
“Kemudian muncul oknum penasehat hukum Anita Kolopaking serta Andi Irfan Jaya, pengusaha sekaligus mantan politisi Nasdem yang tak lain adalah Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Nasdem Sulawesi Selatan. Ini sudah kelihatan benang merahnya bahwa diduga ada mafia sindikat atau industri hukum yang bermain di sini,” ujar Barita.
Untuk itu, menurut Barita, penegak hukum harus mendalami seluruh pihak yang terlibat termasuk informasi dugaan adanya oknum politisi yang menjadi bagian dalam kasus ini.
Barita menuturkan Indonesia sebagai negara hukum yang menganut “equality before the law” dan “due process of the law“, seharusnya mampu menjerat semua pihak yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra, termasuk dugaan keterlibatan oknum anggota DPR RI yang hingga kini belum disentuh.
Barita meyakini penyidikan kasus itu belum selesai karena masih dapat didalami dari keterangan Djoko dan Andi Irfan yang juga dijerat pasal pemufakatan jahat.
Penekanannya, kata Barita pada mafia hukum, makelar kasus lintas profesi yang bermufakat jahat melakukan perbuatan melawan hukum yang harus diungkap tuntas.
Oleh karenanya KPK, kata Barita, tidak boleh diam dan harus turut serta mengungkap tuntas peran pihak-pihak lain dalam kasus ini.
“Kita punya KPK, lembaga penegak hukum yang dibekali kewenangan kuat untuk mengungkap ini semua,” tutur dia.
KPK diminta cermat melihat kemungkinan Kepolisian atau Kejaksaan mengalami kendala dalam mengusut lebih jauh pihak-pihak lain dalam pusaran kasus ini, apakah melalui koordinasi maupun supervisi.
“Apa KPK masih mau diam, tidak melakukan langkah yang proaktif? Mafia hukum ini sudah sangat mengancam,” kata Barita.
Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak KPK mendalami dan mengungkap istilah “King Maker“, serta “Bapakku dan Bapakmu” pada pusaran kasus Djoko Tjandra.
Boyamin mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan dokumen foto “print out” sebuah narasi percakapan antara Pinangki dengan Anita Kolopaking kepada KPK terkait pengurusan fatwa untuk membantu pembebasan Djoko Tjandra dari perkara yang membelitnya berupa penjara dua tahun atas perkara dugaan korupsi cessie hak tagih Bank Bali.
“Bahwa print out seluruh dokumen terdiri 200 halaman tersebut telah diserahkan kepada KPK dan kami telah memberi penjelasan kepada KPK disertai tambahan dokumen lain dan analisa yang relevan,” ujar Boyamin.
Aktivis antikorupsi itu menegaskan bahan tersebut seharusnya dapat digunakan KPK untuk mensupervisi gelar perkara bersama Bareskrim dan Kejagung.
Boyamin juga mempersiapkan materi gugatan praperadilan terhadap KPK jika lembaga antirasuah itu tidak menindaklanjuti bahan yang telah diberikannya.(ant)