DENPASAR, MEDIAPELANGI.com – Dengan Perda RUED ini, Bali yang tidak memiliki sumber daya alam dan sumber energi berbasis fosil atau energi tidak terbarukan (minyak, batu bara), kini bangkit menuju kemandirian energi. Pemberlakukan Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang RUED Provinsi Bali Tahun 2020-2050 ini diumumkan Gubernur Bali, Wayan Koster, Senin (28/9/2020).
Bali memiliki sumber energi bersih berupa energi baru terbarukan, seperti sinar matahari, aliran air, air terjun, angin, panas bumi, bioenergi, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan Hidrogen, yang cukup melimpah sebagai potensi energi daerah.
Pemprov Bali telah lakukan pemetaan dan inventarisasi dengan cermat, meliputi potensi, peluang, dan kendala untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi daerah yang berwawasan ke depan, yaitu menuju ‘Bali Mandiri Energi dengan Energi Bersih’. Kebutuhan dasar strategis tersebut dipenuhi dengan kebijakan berupa pemberlakuan Perda RUED Provinsi Bali Tahun 2020-2050. Pemberlakuan Perda RUED ini sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Menurut Gubernur Koster, saat ini Bali memiliki ketersediaan energi listrik dengan kapasitas 1.261,2 Mega Watt (MW). Energi tersebut sebagian besar bersumber dari pembangkit lokal Bali dengan kapasitas 921,2 MW, yakni dari pembangkit di Buleleng (PLTU Celukan Bawang, PLTU Pemaron), di Jembrana (PLTU Gilimanuk), dan di Denpasar (PLTG Pesanggaran). Sedangkan sisanya dengan kapasitas 340 MW, bersumber dari luar Bali (kabel laut dari Paiton, Jawa Timut ke Gilimanuk).
“Pembangkit energi lokal Bali merupakan energi bersih/ramah lingkungan. Sedangkan yang disalurkan dari Paiton, merupakan energi yang tidak ramah lingkungan, karena memakai bahan bakar batu bara,” ungkap Gubernur Koster dalam rilisnya yang diterima NusaBali, Senin kemarin.
Gubernur Koster menyebutkan, kebutuhan energi di Bali saat beban puncak tahun 2019 adalah sebesar 902 MW. “Berdasarkan data ini, Bali belum mandiri energi dan belum sepenuhnya menggunakan energi bersih/ramah lingkungan,” jelas Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Menurut Gubernur Koster, keberadaan Perda RUED Provinsi Bali 2020-20250 ini bertujuan untuk mengatur pengelolaan dan pembangunan sistem energi yang mandiri, mudah terjangkau, berkeadilan, berkelanjutan, dan mensejahterakan, dengan memprioritaskan energi bersih/ramah lingkungan guna menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya.
“Ini sesuai dengan visi misi pembangunan daerah ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru; yang diselenggarakan dalam satu kesatuan wilayah yaitu satu pulau, satu pola, dan satu tata kelola,” tegas Koster.
Politisi senior PDIP asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng ini menyebutkan, RUED Provinsi Bali disusun sebagai pedoman dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah, penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), penyusunan APBD Semesta Berencana Provinsi, pengelolaan energi di provinsi, pemanfaatan dan pengembangan energi di kabupaten/kota, serta pemanfaatan energi pada sektor lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“RUED Provinsi Bali memprioritaskan penggunaan sumber energi bersih, meliputi gas bumi dan energi baru terbarukan,” tegas mantan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Bali tiga kali periode (2004-2009, 2009-2014, 2014-2018) ini.
Disebutkan, energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2015 sebesar 0,27 persen, ditargetkan akan meningkat menjadi 11,15 persen di tahun 2025. Kemudian, porsi EBT diharapkan menjadi 20,10 persen pada tahun 2050 mendatang.
Menurut Koster, peningkatan EBT diprioritaskan pada pemanfaatan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dan Bioenergi, serta EBT lainnya. Sedangkan sumber energi batubara dirancang menjadi 3,32 persen pada tahun 2025 dan kemudian zero atau nol persen di tahun 2050.
Kondisi eksisting pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara digunakan pada PLTU Celukan Bawang dan PLTU Paiton (Jawa Timur) yang disalurkan ke Bali melalui kabel laut. Sedangkan minyak bumi porsinya akan turun menjadi 45,05 peren pada tahun 2050.
Untuk memenuhi kebutuhan permintaan energi, kata Koster, maka penggunaan sumber energi gas akan diperbesar menjadi 34,85 peren pada tahun 2050. Keterbatasan daya dukung terhadap pembangkit fosil (gas, minyak bumi, dan batu bara) serta keterbatasan dalam pengembangan sumber energi baru terbarukan (EBT), maka Pemprov Bali akan mengupayakan cermat pasokan listriknya dengan penambahan kapasitas listrik dari pembangkit lokal yang menggunakan energi bersih.
“Selain itu, untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan di Jawa dan sistem di Bali, penguatan sistem dilakukan melalui grid Jamali atau Jawa Bali Connection (JBC) yang berfungsi sebagai cadangan bersama (reserve sharing),” tandas Koster.
RUED Provinsi Bali sendiri, kata Koster, merangkum beberapa kebijakan dalam mengelola energi. Kebijakan utama, meliputi ketersediaan energi untuk kebutuhan daerah, prioritas pengembangan energi bersih, dan pemanfaatan sumber EBT daerah. Kebijakan pendukung, meliputi konservasi energi dan diversifikasi energi, ling-kungan hidup dan keselamatan, harga, subsidi, dan insentif energi, infrastruktur dan akses untuk masyarakat terhadap energi dan industri energi, penelitian, pengembangan, penerapan teknologi energi, serta kelembagaan dan pendanaan.
“Dengan ditetapkannya Perda Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) ini, Provinsi Bali telah memiliki pedoman dalam rangka mengembangkan dan memanfaatkan energi di daerah tahun 2020-2050, guna mewujudkan Bali Mandiri Energi dengan Energi Bersih,” katanya. (*mp/rls)