JAKARTA, MEDIAPELANGI.com – Program vaksinasi nasional telah diluncurkan pada tanggal 13 Januari 2021. Targetnya sebanyak 182 juta orang atau sekitar 70 persen penduduk telah disuntik vaksin COVID-19 hingga Maret 2022 untuk menciptakan kekebalan komunal.
Tahap pertama dimulai Januari hingga April 2021 dengan menyuntikan sebanyak 1,3 juta vaksin untuk petugas kesehatan, 17,4 juta orang petugas pelayanan publik, dan 21,5 juta orang warga lanjut usia di atas 60 tahun. Khusus untuk lansia, masih menunggu uji keamanan.
Tahap kedua, April 2021 sampai Maret 2022, vaksin akan diberikan kepada masyarakat di daerah rentan penularan tinggi 63,9 juta orang dan masyarakat lainnya 77,4 juta orang. Nantinya, para penerima vaksin akan disuntik dua kali.
Untuk memenuhi vaksin tersebut, Pemerintah telah melakukan sejumlah kerja sama dengan perusahaan farmasi dunia.
Pemerintah diketahui sudah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin COVID-19 dari berbagai produsen.
Pertama, dari perusahaan farmasi Tiongkok Sinovac sebanyak 125,5 juta dosis; kedua, dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax sebanyak 50 juta dosis.
Ketiga, dari kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) sebanyak 50 juta dosis; keempat, dari pabrikan Inggris AstraZeneca sebanyak 50 juta dosis; dan kelima perusahaan farmasi gabungan Jerman dan Amerika Serikat Pfizer BioNTech sebanyak 50 juta.
Saat ini 3.000.000 vaksin COVID-19 dari Sinovac telah tersedia.
Mengawal Pengadaan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa anggaran untuk vaksin sekitar Rp60 triliun.
Anggaran yang relatif sangat besar dengan kondisi yang tidak biasa, mengingat tidak banyak produsen farmasi yang membuat vaksin tersebut sehingga menjadi rebutan di banyak negara pada masa pandemi.
Menurut Menkes, kapasitas produksi vaksin sendiri diperkirakan 6 miliar dosis, sementara kebutuhan dunia atas vaksin mencapai 9 miliar dosis.
Akibatnya, mekanisme harga dan pengadaan tidak melalui lazimnya mekanisme pasar biasa. Di sisi lain, perlu gerak cepat untuk dapat memenuhi kebutuhan di Indonesia.
Tidak heran bila dalam pengadaan vaksin dilakukan beberapa kerja sama, tidak hanya terhadap satu produsen. Begitu pula, mekanisme pengadaannya berlainan menurut kerja sama tersebut.
Kementerian Kesehatan sejak awal telah mendiskusikan dengan KPK terkait dengan beberapa risiko, yakni vaksin ini pembeliannya sifatnya khusus, perusahaan penyedianya tidak banyak di dunia, akibatnya tender, bidding, dan open document susah dilakukan. Negosiasi harga pun susah dilakukan karena sifatnya terbatas di seluruh dunia.
Untuk pengadaan vaksin COVID-19, dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu pembelian langsung ke produsen, antara lain ke Sinovac, AstraZenica, Pfizer, dan Novavax, serta secara multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI).
Mekanisme bilateral, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi, pihaknya beli melalui Bio Farma, sedangkan multilateral itu gratis karena kerja sama internasional, padahal barangnya sama.
“Di daftar GAVI ada vaksin Novavax dan AstraZenica, jadi kenapa kita juga beli multilateral? Karena barangnya tidak cukup untuk memvaksin 182 juta orang Indonesia,” ungkap Budi.
Bentuk pengadaan yang tidak biasa tersebut membutuhkan penanganan yang juga tidak biasa dalam pengawasan.
Untuk itu, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dua pimpinan KPK (Alexander Marwata dan Lili Pintauli Siregar), Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, serta sejumlah pejabat terkait lain, seperti Irjen Kemenkes Murti Utami dan Dirut Bio Farma Honesti Basyir menggelar pertemuan pada hari Jumat (8/1) membahas hal tersebut.
Hasilnya dibentuk tim bersama untuk mengawasi pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19.
Tim bersama tersebut dibentuk oleh KPK bersama dengan Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa (LKPP), Kejaksaan Agung, dan kepolisian serta pemangku kepentingan lainnya.
Tim tersebut penting agar pengadaan yang dilaksanakan dapat diawasi dan memastikan tidak terjadi kebocoran anggaran.
Pengawasan Distribusi
Di sisi lain, potensi kebocoran juga dapat berasal dari sisi distribusi, mengingat 182 juta orang yang akan divaksin hingga Maret 2022.
Untuk itu, guna memastikan bahwa setiap orang mendapatkan vaksin tidak lebih dari dua kali, data yang mumpuni sangat penting, mengingat vaksin saat ini sumber daya yang terbatas.
Dengan penduduk 270 juta jiwa, sementara 182 juta jiwa yang akan divaksin, potensi kebocoran dan diperjualbelikan di pasar gelap sangat tinggi. Apalagi, Pemerintah telah memastikan bahwa vaksin diberikan gratis.
Data terbaru yang terus diperbarui, data nomor induk kependudukan (NIK) yang mumpuni akan mengurangi resiko kebocoran.
Data terbarukan akan dapat meningkatkan penanganan bagi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum vaksinasi sehingga vaksin tetap dapat dipergunakan dan tidak disalahgunakan.
Kepastian NIK yang mumpuni akan mengurangi salah sasaran maupun penyalahgunaan vaksin.
Guna mendukung data yang mumpuni, Pemerintah memastikan penyelenggaraan Sistem Informasi Satu Data COVID-19. Dua BUMN ditunjuk untuk itu, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia dan PT Bio Farma.
Sistem ini dinyatakan akan menghasilkan data dalam bentuk by name by address (satu nama dan alamat) yang berasal dari berbagai sumber untuk menghindari data ganda.
Data tersebut untuk memetakan dan mendistribusikan vaksin berdasarkan kebutuhan per kabupaten/kota.
Untuk itu, Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Sistem Informasi Satu Data Vaksinasi Sistem Informasi Satu Data Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diteken pada hari Selasa (12/1).
Menteri Komunikasi dan Informatika Jhony G. Plate menyatakan bahwa SKB ini sebagai landasan hukum untuk menjamin dan memastikan perlindungan data pribadi penerima vaksinasi serta mendukung pelaksanaan vaksinasi berjalan dengan lancar dan tepat sasaran.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa pihaknya akan mengandeng Kementerian Dalam Negeri guna membuka fitur pengaduan terkait dengan vaksin seperti program sebelumnya, yaitu “Jaga Bansos” untuk mengawasi penyaluran bantuan sosial.
Pengawasan distribusi guna memastikan vaksin tidak disalahgunakan dan diterima bagi mereka yang berhak sesuai dengan spesifikasi dan tanpa dikurangi penting dilakukan, mengingat program ini menyentuh mayoritas masyarakat Indonesia, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di daerah.
Pengalaman korupsi bansos COVID-19 menjadi pelajaran berharga untuk tidak diulang kembali.
Pada masa pandemi dengan kondisi yang serba tidak biasa, perlu memastikan bantuan yang diberikan tidak lagi dikorupsi.(ant)