DENPASAR, MEDIAPELANGI.com – Hari Selasa Tanggal 23 Februari 2021 akan menjadi hari yang bersejarah bagi krama/masyarakat Bali, karena hari itu mulai diberlakukan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali/Kain Tenun Tradisional Bali.
Artinya, masyarakat Bali mulai “harus” menggunakan Batik Endek atau Endek akan mulai “menghiasi” Pulau Dewata sesuai dengan SE yang ditandatangani oleh Gubernur Bali I Wayan Koster pada 28 Januari 2021 dan diberlakukan secara efektif pada hari Selasa 23 Februari 2021.
“Pemerintah dan masyarakat Bali harus berpihak dan berkomitmen terhadap sumber daya lokal dengan berperan aktif untuk melestarikan, melindungi, dan memberdayakan kain tenun endek Bali/kain tenun tradisional Bali,” ujar Gubernur Koster saat menyampaikan penjelasan terkait SE Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2021 di Denpasar, Kamis (11/2) lalu.
Sesungguhnya, kebijakan Pemprov Bali itu bukanlah kebijakan pertama tentang penggunaan kain tradisional sebagai pakaian masyarakat dalam keseharian atau seminggu sekali, karena Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah melakukan kebijakan serupa sejak tahun 2014.
Kalau di Bali, penggunaan batik endek itu pada setiap hari Selasa (dikecualikan jika bertepatan dengan hari Purnama, Tilem, dan Hari Jadi Pemerintah Daerah), maka di Yogyakarta diberlakukan kebijakan berpakaian adat Jawa, yakni surjan lurik dan jarit, pada setiap Kamis Pahing atau 35 hari sekali, sebagaimana diatur dalam Peraturan Wali Kota Nomor 173 Tahun 2014.
Tidak jauh berbeda dengan Bali, kebijakan penggunaan pakaian adat Jawa di Yogyakarta itu diharapkan mendorong hidupnya industri kerajinan batik lokal, khususnya batik tulis, sebab Pemprov DIY mencatat industri batik tulis DIY kini hanya tersisa di Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo. Di Bali justru lebih bagus, karena endek artisan (kerajinan tangan).
Semangat yang dicontohkan Yogyakarta dan Bali itu merupakan tindak lanjut dari semangat bangsa/masyarakat Indonesia yang merayakan Hari Batik Nasional pada setiap tanggal 2 Oktober yang mengacu pada tanggal penetapan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009.
Khusus kain tenun endek Bali juga telah dicatatkan sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional dengan Nomor Inventarisasi EBT.12.2020.0000085 oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada 22 Desember 2020.
Semangat masyarakat Indonesia dan pemerintah dari Yogyakarta dan Bali itu agaknya patut diacungi jempol untuk dua tujuan yang bermuara pada kepentingan publik yakni melestarikan budaya bangsa (artisan/kerajinan tangan) dan mendorong bangkitnya UMKM yang dikemas dalam kampanye “Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI)”.
Namun, kampanye Endek Bali melalui SE Gubernur Bali itu agaknya tidak berjalan mulus, karena kampanye “cinta budaya bangsa” itu digaungkan saat Pandemi COVID-19 yang mayoritas masyarakat Bali yang bergantung pada pariwisata itu sedang mengalami penurunan ekonomi secara drastis, sehingga SE itu justru mengundang “bully” (perundungan) dari warganet/netizen.
Intinya, para netizen menilai Gubernur Bali kurang memahami masyarakat yang sekarang menderita akibat COVID-19, sehingga kewajiban mengharuskan/mewajibkan kain tenun Endek pada setiap hari Selasa itu kurang bijak. “Kalau pejabat ya nggak ada persoalan kain endek yang harganya hampir sejuta itu,” ucap seorang netizen.
Padahal, pernyataan Gubernur Koster tidak se-formal dugaan warganet, karena orang nomer satu di Pemprov Bali itu hanya menggarisbawahi bahwa endek itu dibeli di IKM lokal Bali. “Yang penting endeknya baru, tidak boleh yang sudah ada. Terserah pesannya mau di mana, mau yang kelas harga berapa, sesuai kemampuan masing-masing,” ucap Gubernur Koster, Kamis (11/2).
“Jalan tengah”
Agaknya, niat baik Gubernur Bali untuk pelestarian budaya dan mendorong kebangkitan UMKM itu tidak hanya berhenti pada SE Endek, namun Gubernur Bali, Wayan Koster, juga secara resmi menandatangani kerja sama dengan Christian Dior Couture, S.A, dalam mempromosikan ekspresi budaya tradisional Indonesia untuk tenun endek Bali, secara virtual dari Denpasar, Bali, dan Paris, Perancis pada Kamis (11/2) Pukul 21.30 WITA atau 14.30 waktu bagian Paris.
“Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Christian Dior yang telah memilih kain tenun endek Bali sebagai bahan baku koleksinya. Ini merupakan kerja sama yang bersejarah di dalam melestarikan warisan budaya leluhur Bali dan juga sebagai wujud keberpihakan kami kepada industri kecil dan menengah, khususnya para penenun Kain Endek Bali di masa pandemi Covid-19,” ujar Koster dalam keterangan persnya.
Dalam kerja sama itu, perusahaan yang didirikan di bawah hukum Negara Perancis, Christian Dior Couture, S.A bisa memanfaatkan kain tenun endek Bali sebagai koleksi busana musim semi dan musim panas tahun 2021. Gubernur Koster dan Christian Dior juga sama-sama sepakat untuk mempromosikan ekspresi budaya tradisional Indonesia, khususnya pemanfaatan tenun endek Bali dalam produk Dior.
Sebagai bentuk ungkapan pengakuan terhadap nilai dan pengakuan terhadap hak pemilik tenun endek Bali, Christian Dior setuju untuk memberikan pemberdayaan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terpilih di Bali yang memproduksi tenun endek, dan mencantumkan label pengakuan pada setiap produk Dior yang menggunakan tenun endek Bali.
Dalam kesempatan tersebut, Marie Champey juga mengundang Gubernur Bali Wayan Koster beserta jajarannya untuk berkunjung ke pabrik Christian Dior di Perancis, serta melihat langsung bagaimana produksi busana tersebut dilakukan. “Kami ingin kerja sama ini terus berlanjut, serta kami juga berharap bisa memperkenalkan budaya-budaya unik lainnya tidak hanya dari Bali, namun dari seluruh Indonesia,” ujarnya.
Agaknya, perusahaan Christian Dior di Perancis tidak salah memilih endek, karena bahan endek itu terbuat dari tenun ikat asli Bali, lalu cara pembuatannya juga masih menggunakan alat tenun bukan mesin, begitu juga motif yang dihasilkan adalah hasil dari tenunan (bukan lukisan).
Kain endek di Bali terdiri dari beragam jenis motif endek, di antaranya motif encak saji yang biasa dipilih untuk upacara keagamaan untuk umat Hindu, lalu ada motif songket, motif rangrang, endek jumputan, dan masih banyak lainnya. Karenanya, penggemar kain endek juga berasal dari berbagai kalangan, salah satunya generasi muda.
“Kita sebagai generasi muda Bali harus menjaga dan melestarikan warisan budaya yang kita miliki. Sangat penting bagi kita untuk mencintai warisan ini. Karena kain endek adalah milik kita, kita yang memakainya, dan kita yang bangga dengan warisan budaya yang kita miliki ini,” ucap Duta Endek Bali Tahun 2019 Lady Athalia, Kamis (11/8).
Pada masa pandemi COVID-19, endek Bali juga memiliki daya tarik tersendiri, misalnya sebagai bahan utama pembuatan APD (masker). Banyak yang berkreasi menggunakan endek sebagai bahan pendukung dalam pembuatan masker kain. Bukan hanya masker, namun juga aksesoris lainnya, seperti scrunchie (ikat rambut), juga bandana.
“Tapi, ekonomi memang jadi kendala, sebagian orang tentu akan menghemat demi bertahan hidup. Ketika endek digunakan untuk pembuatan masker dan aksesoris lainnya, malah saat ini lumayan digemari berbagai kalangan, sehingga para pengusaha dituntut kreatif dalam mengolah produksi kain endek itu,” kata Lady Athalia.
Agaknya, kebijakan Gubernur Bali untuk pelestarian budaya dan mendorong kebangkitan UMKM melalui SE Endek itu sangat tepat, namun pelaksanaan SE perlu bertahap sesuai tahapan kondisi perekonomian akibat COVID-19. Itulah “jalan tengah” antara kepentingan budaya dan kondisi perekonomian yang ada. Idem dengan Batik, pemerintah mendorong pengakuan UNESCO untuk Batik pada 2 Oktober 2009, lalu Hari Batik Nasional itu justru datang dari masyarakat.(ant)