Mati yang utama, kata Mpu Jaya Prema adalah mati setelah menjalani sakit. “Lebih utama lagi adalah dalam kematian itu masih sadar, masih melantunkan mantram meski dalam hati. Misalnya mantram gayatri. Ibu dari segala mantram,” terangnya.
Setidak-tidaknya, imbuh dia, kalau kita sadar masih ada waktu, pusatkan perhatian kita pada hal-hal spiritual, lepaskan dari segala ikatan duniawi.
“Karena itu orang-orang suci dan pemuka agama sering memberi tuntunan,” tutur pandita yang tinggal di Pujungan, Pupuan ini.
Kematian jenis kedua, lanjut Mpu Jaya Prema, yakni kecelakaan secara mendadak. Langsung meninggal. Artinya tidak ada proses. Kematian ini disebut salahpati.
“Itu tidak ada bedanya dengan kematian yang utama, hanya perli ritual penebusan di lokasi kejadian,” jelas ida pandita yang lahir 4 April 1951 ini.
Kematian ketiga, menurut Mpu Jaya Prema, adalah bunuh diri, yang juga disebut ulahpati.
“Mencari mati. Orang sendiri yang mencari ulah,” kata pandita yang kini berusia 70 tahun ini.
Kematian jenis ketiga ini biasanya diikuti dengan ritual penebusan, ada ritual di perempatan jalan desa (catuspata) sesuai desakalapatra.
Di beberapa desa, kata Mpu Jaya Prema, mayat yang bunuh diri bahkan tidak boleh dibawa ke rumah duka. Langsung dibawa ke kuburan. Semua ritualnya diselesaikan di kuburan.
“Ulah pati bukan hanya merepotkan keluarga dan juga repot warga desa. Tapi hukuman yang diterima di alam akhirat seolah-olah tak terampuni lagi,” papar dia.
Untuk itu, Mpu Jaya Prema berpesan agar umat Hindu menghindari ulah pati. “Marilah kita semua menyadari, apapun kesulitan yang kita hadapi di dunia ini, kita terima sebagai cobaan dan dengan sekuat-kuatnya kita hadapi,” paparnya.
Mpu Jaya Prema mengingatkan, Tuhan tidak akan memberi cobaan yang begitu berat yang tidak bisa kita hadapi.
“Pasti bisa kita hadapi kalau kita tidak putus asa. Jangan sampai berpikir untuk mengakiri dengan bunuh diri,” pungkas Mpu Jaya Prema. [MP]