fbpx

Saleh Partaonan Daulay: Desak Pemerintah Segera Perbaiki Data Kematian Covid-19

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay. Foto: Ist/Man

JAKARTA, MEDIAPELANGI.com – Komisi IX DPR RI mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem pendataan kasus kematian akibat Covid-19.

Langkah pemerintah yang mengeluarkan indikator angka kematian dalam laporan harian Satgas Penanganan Covid-19 bukan solusi tepat. Pemerintah beralasan indikator angka kematian dikeluarkan dari laporan harian karena banyak input data yang tidak update dari berbagai daerah.

Kondisi ini, kata Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, diklaim terjadi selama beberapa waktu belakangan dan Kementerian Kesehatan memprediksi masih akan terjadi hingga dua minggu ke depan. “Saya menilai bahwa data kematian menjadi indikator penting dalam evaluasi PPKM dan kebijakan penanganan Covid secara keseluruhan,” ungkap Saleh dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Sabtu (14/8/2021).

Pemerintah menyebut indikator kematian tidak akan dipakai untuk sementara waktu, selama tim khusus merapikan data-data yang menyebabkan terjadinya anomali tingginya kasus kematian Covid-19 di Indonesia. Anomali itu terjadi mengingat saat ini kasus Covid-19 sudah mulai melandai setelah terjadi lonjakan luar biasa pada Juni lalu, namun laporan kematian masih tetap tinggi.

Menurut Ketua F-PAN DPR itu, anomali terjadi karena pencatatan data yang kurang baik. “Akibat data yang masuk merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya, akhirnya informasi kasus kematian Covid menjadi bias dan menimbulkan distorsi dalam penilaian,” jelasnya. Oleh karena itu, lanjut Saleh, pemerintah harus sesegera mungkin membenahi sistem pendataan kasus kematian akibat Covid.

“Pencatatan data yang masuk dari berbagai daerah harus bersifat real time supaya valid dan bisa dijadikan rujukan dalam penanganan pandemi Covid,” sambungnya. Legislator dapil Sumut II itu menegaskan, pencatatan data yang tidak real time menyebabkan munculnya kesalahan data indikator kematian akibat laporan data menumpuk dan dilakukan secara dicicil. Bahkan data yang masuk adalah akumulasi data dari bulan-bulan sebelumnya. Imbasnya, terjadi penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah.

“Tentu saja keterlambatan data ini memunculkan bias, karena data kematian yang ada menampilkan banyak informasi, termasuk di antaranya efektivitas kebijakan yang ada, tingkat hunian rumah sakit, penurunan orang yang terpapar, kesiapan tenaga pemulasaraan jenazah, tenaga pemakaman, ketersediaan lahan, dan lain-lain,” papar Saleh. Pemerintah berjanji akan kembali memakai indikator kematian Covid setelah datanya dirapikan.

Meski begitu, Saleh tidak setuju data indikator kematian dalam asesmen level PPKM dihilangkan pada laporan harian untuk sementara waktu, karena hilangnya data angka kematian dapat berakibat salahnya pengambilan strategi dalam menghadapi pandemi. “Sederhananya, kalau orang yang terpapar sedikit yang meninggal atau turun tajam, berarti kebijakan yang diterapkan efektif. Sebaliknya, kalau jumlah yang meninggal banyak atau semakin meningkat, maka kebijakannya perlu dievaluasi. Dicari titik lemahnya untuk diperbaiki,” tutur Saleh.

Masih kata Saleh, jika data kematian Covid-19 yang dimiliki pemerintah tidak akurat, bukan berarti harus dikeluarkan dari indikator evaluasi. Dia menyebut, yang perlu dilakukan pemerintah adalah dengan memperbaiki datanya, termasuk melakukan evaluasi dan perbaikan sistem pencatatan data sehingga permasalahan tidak kembali terulang. “Justru dengan mengetahui datanya bermasalah, pemerintah diyakini bisa lebih cepat melakukan perbaikan. Di luar negeri, data-data kematian juga tetap dijadikan sebagai indikator,” ucap Saleh.

Saleh menggarisbawahi bagaimana semua negara selalu mengumumkan kondisi penanganan Covid-19 secara aktual, termasuk rincian jumlah orang yang terpapar virus. Negara-negara lain juga selalu melaporkan berapa banyak warganya yang sedang dirawat, yang sudah sembuh, dan yang meninggal dunia akibat Covid-19. “Kalau angka kematian nanti dikeluarkan dari indikator evaluasi, malah orang nanti akan menyoal. Dikhawatirkan orang akan berpikir ada sesuatu yang disembunyikan. Menurut saya, lebih baik tetap dimasukkan sebagai indikator. Sekali lagi, datanya yang diperbaiki,” desak Saleh lagi.

Pemerintah diingatkan bahwa laporan angka kematian merupakan dasar penilaian performa, sehingga jika dihilangkan, akan muncul ketidakjelasan di tengah masyarakat. Saleh juga khawatir masyarakat akan mulai abai jika tidak mengetahui indikator kematian, dan pada akhirnya kasus Covid-19 kembali mengalami lonjakan. “Di Indonesia, data memang selalu bermasalah. Tidak hanya soal data kematian akibat Covid, data-data lain pun sering bermasalah,” sesal Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI ini.

Saleh pun memberi contoh mengenai berbagai permasalahan data yang kerap muncul di Indonesia. Mulai dari data penerima bantuan sosial, penerima BSU, data BPJS Kesehatan yang sempat disebut bocor, bahkan hingga data DPT (daftar pemilih tetap) Pemilu. “Nah, kalau data-datanya bermasalah seperti itu, apakah bantuan sosialnya dihentikan? BPJS disetop? Pemilu ditunda? Kan, tidak. Justru, datanya yang diperbaiki. Kalaupun datanya belum sempurna, kegiatan tetap jalan. Program tetap dilaksanakan,” tegas Saleh.

Berdasarkan informasi Worldometer, Indonesia telah melaporkan 11.289 kematian karena Covid dalam sepekan terakhir. Laporan tersebut membuat Indonesia menduduki peringkat pertama negara dengan jumlah korban Covid terbanyak saat ini. Hingga 13 Agustus 2021, total kasus Covid di Indonesia sejak pandemi terjadi pada Maret 2020 mencapai 3.804.943 kasus. Pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 3.289.718 orang, kemudian kasus kematian berjumlah 115.096 orang. Sisanya sedang menjalani perawatan atau isolasi mandiri. (mh/sf)

Berita Terkait
error: Konten ini terlindungi.