DENPASAR, MEDIAPELANGI.com – Seniman multitalenta Ny. Putri Suastini Koster mengatakan pemerintah mempunyai peran besar dalam menyediakan ruang-ruang berkesenian bagi para seniman terutama seniman non-tradisi di Bali.
Hal itu disampaikan pendamping Orang Nomer Satu di Bali itu saat menjadi pembicara tamu pada Festival Bali-Dwipantara Waskita (Seminar Republik Seni Nusantara) bertajuk “Wana-Empu-Nuswantara (Lingkungan, Keempuan dan Jejaring Seni)” secara daring pada Rabu (27/10) di Denpasar.
“Saya sering katakan dari dulu, jangan biarkan para seniman non-tradisi atau yang di Bali biasa disebut seniman kontemporer dibiarkan berteriak di ruang-ruang sunyi, menggeluti kesunyian tanpa riuh tepuk tangan penonton dan panggung untuk eksistensinya,” kata Ny Putri Koster
Dalam seminar digagas ISI Denpasar itu, Ny Putri Koster menuturkan bahwa sejak lama melihat ada ketidakseimbangan ruang gerak dan perhatian dari pemerintah kepada seniman kontemporer di Bali. Hingga akhirnya ia mencetuskan gagasan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) untuk mengakomodir seniman non-tradisi. “Gagasan saya agar para penyair misalnya, tidak hanya dibiarkan berteriak di warung, di rumah sendiri atau di halaman. Sayang sekali, potensi yang sangat besar di wilayah seni modern tidak ada perhatian pemerintah,” tuturnya.
“Perhatian itu penting untuk memberikan gairah kesenian yang nantinya bisa jadi ‘mercusuar’ pada seniman. Beri kami ruang gerak yang sama,” imbuhnya.
Karena itulah, Ny. Putri Koster bersyukur Gubernur Bali dapat menangkap gagasan itu yang kemudian digodok bersama para ahli, akademisi dan tim untuk ,merancang dan mewujudkan FSBJ. “Yang penting ada ruang dulu, kita buka ruang 100 persen untuk kreativitas seniman atau pelaku seni non-tradisi. Itu yang bisa saya persembahkan kepada teman-teman seniman kita di Bali. Membuka ruang pada karyanya supaya bisa tampil, bisa diapresiasi penonton,” kata Ny. Putri Koster. “Tak hanya penyair, sastrawan, teater modern hingga musik dengan beragam genrenya bisa tampil untuk pembelajaran dan kreativitas,” tambahnya.
Ny. Putri Koster pun berharap dengan keberadaan FSBJ para seniman yang tampil akan bisa semakin mumpuni, semakin modern dengan perkembangan terkini serta bisa mandiri. “Dan jangan dilupakan untuk bisa kembali ke jati dirinya, berkepribadian secara budaya , menerapkan isi dari Tri Sakti Bung Karno,” harap Ny Putri Koster. “Mumpung FSBJ ini masih baru berjalan, mari kita smeua pemerintah bersama akademisi, seniman untuk menjaga bersama agar festival ini bisa berjalan sesuai dengan koridornya,” pintanya.
Menutup paparannya dihadapan ratusan peserta yang hadir secara daring , wanita yang juga dikenal sebagai pembaca puisi ulung ini juga mengharapkan ke depannya ke-empu-an seorang seniman, agar bisa ngempu (ngemong, red) orang-orang di sekitarnya, memberikan vibrasi positif lewat karya-karyanya, agar berperan menjadikan kehidupan yang damai dan harmonis.
“Seniman dengan karya-karyanyanya, pemerintah membantu dengan wahananya, sehingga bisa tampil dan membawa pengaruh pada pembangunan anak bangsa dan Bali khususnya secara sekala niskala sesuai visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Bangunkan kesadaran, buatlah hidup yang menghidupi banyak orang,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama pembicara kunci seminar Prof. M. Alie Humaedi dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya , Badan Riset dan Inovasi Nasional RI senada dengan Ny Putri Koster juga mengharapkan para seniman tidak hanya dibiarkan di ruang sunyi tanpa panggung untuk mempertunjukkan eksistensinya, atau yang dalam bahasa Prof Alie disebut ruang sunyil (ruang keangkerannya). “Ruang sunyil, ruang kesendirian, ruang kesepian dalam seni sama saja dengan jalan menuju kepunahan, jalan untuk melestarikannya adalah dengan meramaikannya,” tandasnya.
Prof Alie juga festival-festival yang digelar secara terpola dan terencana merupakan sebuah bagian besar dari revolusi kesenian yang nantinya akan memeprkuat posisi seni di dalam gemnpuran ‘mega tren’ dunia. “Jadi seni tidak boleh dibiarkan di ruang kesendiriannya. Tidak hanya berhenti di ruang pameran tapi harus ada di ruang-ruang media sosial. Dan festival adalah wadah bagi ekosistem kesenian dan pemanfaatan digital media adalah harapan sekaligus tantangan bagi revolusi kesenian,’ terangnya.
Akademisi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta ini pun menekankan pada proses komodifikasi pada seni dan tradisi , dengan proses yang berbasiskan nilai-nilai yang terkandung didalamnya menuju kepada ekonomi kreatif. “Kembali lagi kemasan dan tampilan baru memerlukan jejaring dan penggunaan teknologi digital,” jelasnya.
Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Wayan ‘kun ‘ Adnyana menjelaskan tema Wana-Empu-Nuswantara (Lingkungan, Keempuan dan Jejaring Seni) yang diangkat diharapkan menjadi sebuah akang atau khasanah gagasan tentang perspektif kita tentang kesenian lintas batas, mulai dari tradisi, kepercayaan, ingga ritual konservasi hutan. “Kita harapkan ajang ini menjadi panggung bagi tokoh-tokoh yang benar-benar, sungguh-sungguh melakukan kerja kesenian. Ini adalah panggung bagi mereka yang sungguh menata lelaku seni, berbagi dengan sesama , ajang dialektika untuk memajukan seni Indonesia,” ujarnya.
Selain menghadirkan Ny. Putri Suastini Koster, ajang yang digelar selama 3 hari ini juga menghadirkan pembicara kompeten lain, yakni Sastrawan Putu Fajar Arcana serta akademisi AA Gde Rai Remawa.[*]